Melihat ada tukang bubur naik haji di TV. Siapa yang coba yang tidak ngiri? lebih tepatnya gengsi. Kenapa harus
gengsi? Biarpun
sama-sama
‘tukang’nya,
tetep saja dari segi nama, profesi saya sedikit lebih keren. tukang poto,
operator alat x-ray untuk tujuan medis.
Dari segi status pun,
kayaknya status saya lebih trendy. Seorang pegawai negeri, biarpun kata lain dari PN adalah abdi negara atau
pelayan masyarakat, sinonim yang identik dengan rakyat biasa, tetap saja status saya terasa lebih
‘wah’ dari tukang bubur. Mungkin karena di hirarki
keluarga saya, menjadi
PNS adalah sebuah akhir dari
jenjang karir seseorang. Biarpun ada profesi lain yang masih saya yakini lebih
menjanjikan keberhasilan finansial, yaitu wiraswasta, termasuk juga tukang bubur. Tapi biarlah. saya cukup
senang dan bersyukur bisa menjadi PNS, di saat berjuta orang berjejalan antri untuk mengadu nasib menjadi PNS setiap
tahunnya.
Rasa syukur ini saya
ejawantahkan dengan hidup penuh kesederhanaan. kesederhanaan yang hampir ada di
setiap lini hidup saya. Dari segi pangan, menu sehari hari bukan yang tergolong elit. Tahu tempe selalu ada di
jajaran teratas makanan yang paling sering kami konsumsi. Kami sepertinya telah
kadung jatuh cinta, di saat kami ada uang lebih, tetap saja tahu-tempe kami cari-cari keberadaanya di meja
makan. namun saya juga tak pernah
menyiksa diri dengan hidup terlampau sederhana. Sesekali saya ajak istri dan anak ke
resto kelas menengah. Walau murah tetap saja namanya retoran bukan?
Konsep kesederhanaan juga
saya berlakukan di lini hidup bernama sandang. orang jawa bilang ajining rogo soko busono, harga diri
berasal dari busana. Ya, saya mengikuti falsafah itu, tapi tidak berarti harus
dengan pakaian mahal dan bermerk,cukuplah sekedar pantas dan tidak semrawut,
menurut saya itu sudah mewakili ajining
rogo.
Falsafah itu oleh sebagian
orang di selewengkan. Bahwa kriteria pantas itu adalah harus berpakain serba wah dan
bling bling, mahal, mewah, baru kalau bisa banderol harga baju tak usah di
ambil karena itu tanda bahwa baju itu baru di beli. he he. saya ingat terkahir
beli baju adalah sewaktu habis hari raya. Ya, itulah momen satu satunya saya beli baju setiap tahunnya.
O ya..., dengan beli baju setahun
sekali bukan berarti saya punya sedikit baju ya...Untuk kemeja di lemari
pakaian rumah lumayan bertumpuk, karena dapat warisan dari sang ayah. Ayah saya setiap tahun bobotnya
mesti naik, dengan begitu bajunya harus dilengserkan ke putranya walau saya tak
pernah berharap dapat warisan semacam itu. Bapak, jangan tambah gemuk ya...tidak
baik untuk kesehatan...
Ngomongin bapak saya teringat beliaulah yang
mengajari tentang kesederhanaan. Maklum beliau juga seorang PNS, utamanya masalah papan,
rumah kami dulu tak langsung jadi besar. Kami harus membangunnya beberapa tahap. Pertama ruang tamu dan
ruang keluarga dibangun
duluan, sehingga
nampak bagus di depan. Namun masalah terjadi ketika ada yang bertamu dan minta ijin ke
belakang. Kami bingung
alang kepalang karena WC masih akan di bangun dua tahun lagi, itupun kalo ada uang
tabungan sisa.
Karena itulah saya dan istri membeli rumah dengan
fasilitas subsidi pemerintah. Sungguh setara dengan gaji bulanan kami yang ‘mepet’. Kelak kami akan merenofasi
rumah tipe dua sembilan itu dari belakang ke depan. Kamar mandi dulu baru ruang
tamu. Tentu
saja kami berkaca pada pengalaman rumah bapak di kampung yang selalu berdebar-debar saat tamu kami ingin
kebelakang. Alasan
lain, saya ingin menunjukkan kesederhanaan rumah kami dengan tetap mempertahankan
bentuk asli dari developer. Kami ingin mempertahankan
kesederhanaan sesuai dengan nama rumah kami yaitu rumah sehat sederhana.
Kesederhanaan ini tetap
akan kami bawa seumur hidup, bukan apa apa. Namun karena dengan jalan inilah kami
bisa menyisakan sedikit pendapatan bulanan kami. Sedikit demi sedikit. Bukan untuk keperluan
mendadak atau untuk merenofasi rumah, insya Allah itu sudah ada kanalnya sendiri. Tapi penyisihan pendapatan
ini semata mata untuk menjalankan perintah agama. Rukun islam paling bontot. Naik haji.
Ah, setiap kali dapat
cerita begitu serunya ritual haji dari rekan kerja yang baru datang dari tanah
suci. Perasaan
iri itu membuncah. Merasakan panas dan debunya musdalifah, dinginnya mabit di mina, serunya
berlari lari kecil antara shofa dan marwa, begitu emotic-nya melempar setan dengan
jumrah, dan begitu kompaknya orang dengan berbagai ragam warna kulit, anatomi
dan mazab beriringan memusar di sekeliling kakbah. Dan yang paling ingin saya
rasakan adalah berdoa di tempat paling mustajab yaitu di depan makam Rosulullah. Kata mereka kamu tak akan
sadar dan merasakan airmatamu sudah meleleh-leleh. Ya Allah, kabulkan keinginan PNS yang satu ini.
Saya tahu Tuhan akan menjawab doa
saya lalu dan
mengabulkannya. karena itu saya harus berterimakasih akan jawaban doa itu dengan
senantiasa bersyukur dengan keadaan yang saya nikmati sekarang.
Berandai andai dululah....
Sehabis dari Mekah, saya tak ingin cepat
mengumbar harta. Biasanya setelah dari
mekah, setelah cita citanya tercapai, tekat tak lagi gigih, idealisme
jadi longgar, ritme hidup tak lagi seperti ketika sebelum cita-cita come true. Semangat hemat runtuh sudah.
Saya yakin, setelah dari Mekah kehidupan akan jadi
normal. Utamanya finansial. Bagaimana tidak, golongan PNS akan naik, gajipun akan
naik, sudah tak ada lagi tanggungan kredit rumah tentu pula tak ada lagi penyisihan
uang untuk berhaji. Nah setelah itulah godaan akan datang. Hatipun mengetuk seraya
menggumam. sekarang
saatnya senang-senang boy. Masak dari dulu susah terus?
Yang saya takutkan saya
menuruti gumaman itu. Hidup sederhana lebih dekat dengan prihatin, dan prihatin itu
tidak enak. Sedang
logika selalu condong ke hal yang menyenangkan. Untungnya bisikan hati saya masih
lumayan tajam. Lalu pelan mengingatkan bahwa hidup sederhana bukan semata-mata untuk menjadi kaya di
suatu hari. Saya coba
mengingat ngingat kembali, dan saya sampai pada kesimpulan, untuk memulai
tujuan yang baik sesuatu harus dimuali dengan baik. Berhaji adalah perintah
agama. Kesederhanaan adalah perintah agama
juga. permulaan yg baik
Lagian, saya sering mendengar. Berhaji adalah candu. Akan ada efek tarik-menarik antara kakbah
dengan jamaah yg pernah mengunjunginya. Sekali berhaji, sudah itu ingin sekali
lagi, sekali lagi dan lagi. Itu artinya saya harus melanjutkan hidup sederhana,
menyisihkan sebagian pendapatan. Sekali lagi, lagi dan lagi.
Kalau boleh sombong
sombongan, saya mau haji minimal dua kali dalam hidup saya. Apakah terlalu sombong? Saya rasa tidak. karena itu
hanya dream. Dan tak ada istilah terlalu
sombong dalam menentukan mimpi. Salam...
bumi maha patih, 081112
0 komentar :
Post a Comment
Please Comment Bellow, As:
@ Appreciation-Support
@ Criticism-Answers
@ Blog Walking- No Spam
Thank....