Thursday 24 January 2013

Tukang Poto Naik Haji




Melihat ada tukang bubur naik haji di TV. Siapa yang coba yang tidak ngiri?  lebih tepatnya gengsi. Kenapa harus gengsi? Biarpun sama-sama ‘tukang’nya, tetep saja dari segi nama, profesi saya sedikit lebih keren. tukang poto, operator alat x-ray untuk tujuan medis.

Dari segi status pun, kayaknya status saya lebih trendy. Seorang pegawai negeri, biarpun kata lain dari PN adalah abdi negara atau pelayan masyarakat, sinonim yang identik dengan rakyat biasa, tetap saja status saya terasa lebih wah dari tukang bubur. Mungkin karena di hirarki keluarga saya, menjadi PNS adalah sebuah akhir dari jenjang karir seseorang. Biarpun ada profesi lain yang masih saya yakini lebih menjanjikan keberhasilan finansial, yaitu wiraswasta, termasuk juga tukang bubur. Tapi biarlah. saya cukup senang dan bersyukur bisa menjadi PNS, di saat berjuta orang berjejalan antri untuk mengadu nasib menjadi PNS setiap tahunnya.

Rasa syukur ini saya ejawantahkan dengan hidup penuh kesederhanaan. kesederhanaan yang hampir ada di setiap lini hidup saya. Dari segi pangan, menu sehari hari bukan yang tergolong elit. Tahu tempe selalu ada di jajaran teratas makanan yang paling sering kami konsumsi. Kami sepertinya telah kadung jatuh cinta, di saat kami ada uang lebih, tetap saja tahu-tempe kami cari-cari keberadaanya di meja makan. namun saya juga  tak pernah menyiksa diri dengan hidup terlampau sederhana. Sesekali saya ajak istri dan anak ke resto kelas menengah. Walau murah tetap saja namanya retoran bukan?

Konsep kesederhanaan juga saya berlakukan di lini hidup bernama sandang. orang jawa bilang ajining rogo soko busono, harga diri berasal dari busana. Ya, saya mengikuti falsafah itu, tapi tidak berarti harus dengan pakaian mahal dan bermerk,cukuplah sekedar pantas dan tidak semrawut, menurut saya itu sudah mewakili ajining rogo.

Falsafah itu oleh sebagian orang di selewengkan. Bahwa kriteria pantas itu adalah harus berpakain serba wah dan bling bling, mahal, mewah, baru kalau bisa banderol harga baju tak usah di ambil karena itu tanda bahwa baju itu baru di beli. he he. saya ingat terkahir beli baju adalah sewaktu habis hari raya. Ya, itulah momen satu satunya saya beli baju setiap tahunnya. O ya..., dengan beli baju setahun sekali bukan berarti saya punya sedikit baju ya...Untuk kemeja di lemari pakaian rumah lumayan bertumpuk, karena dapat warisan dari sang ayah. Ayah saya setiap tahun bobotnya mesti naik, dengan begitu bajunya harus dilengserkan ke putranya walau saya tak pernah berharap dapat warisan semacam itu. Bapak, jangan tambah gemuk ya...tidak baik untuk kesehatan...

Ngomongin bapak saya teringat beliaulah yang mengajari tentang kesederhanaan. Maklum beliau juga seorang PNS, utamanya masalah papan, rumah kami dulu tak langsung jadi besar. Kami harus membangunnya beberapa tahap. Pertama ruang tamu dan ruang keluarga dibangun duluan, sehingga nampak bagus di depan. Namun masalah terjadi ketika ada yang bertamu dan minta ijin ke belakang. Kami bingung alang kepalang karena WC masih akan di bangun dua tahun lagi, itupun kalo ada uang tabungan sisa.

Karena itulah saya dan istri membeli rumah dengan fasilitas subsidi pemerintah. Sungguh setara dengan gaji bulanan kami yang mepet. Kelak kami akan merenofasi rumah tipe dua sembilan itu dari belakang ke depan. Kamar mandi dulu baru ruang tamu. Tentu saja kami berkaca pada pengalaman rumah bapak di kampung yang selalu berdebar-debar saat tamu kami ingin kebelakang. Alasan lain, saya ingin menunjukkan kesederhanaan rumah kami dengan tetap mempertahankan bentuk asli dari developer. Kami ingin mempertahankan kesederhanaan sesuai dengan nama rumah kami yaitu rumah sehat sederhana.

Kesederhanaan ini tetap akan kami bawa seumur hidup, bukan apa apa. Namun karena dengan jalan inilah kami bisa menyisakan sedikit pendapatan bulanan kami. Sedikit demi sedikit. Bukan untuk keperluan mendadak atau untuk merenofasi rumah, insya Allah itu sudah ada kanalnya sendiri. Tapi penyisihan pendapatan ini semata mata untuk menjalankan perintah agama. Rukun islam paling bontot. Naik haji.

Ah, setiap kali dapat cerita begitu serunya ritual haji dari rekan kerja yang baru datang dari tanah suci. Perasaan iri itu membuncah. Merasakan panas dan debunya musdalifah, dinginnya mabit di mina, serunya berlari lari kecil antara shofa dan marwa, begitu emotic-nya melempar setan dengan jumrah, dan begitu kompaknya orang dengan berbagai ragam warna kulit, anatomi dan mazab beriringan memusar di sekeliling kakbah. Dan yang paling ingin saya rasakan adalah berdoa di tempat paling mustajab yaitu di depan makam Rosulullah. Kata mereka kamu tak akan sadar dan merasakan airmatamu sudah meleleh-leleh. Ya Allah, kabulkan keinginan PNS yang satu ini.

Saya tahu Tuhan akan menjawab doa saya lalu dan mengabulkannya. karena itu saya harus berterimakasih akan jawaban doa itu dengan senantiasa bersyukur dengan keadaan yang saya nikmati sekarang.

Berandai andai dululah....

Sehabis dari Mekah, saya tak ingin cepat mengumbar harta. Biasanya setelah dari mekah, setelah cita citanya tercapai, tekat tak lagi gigih, idealisme jadi longgar, ritme hidup tak lagi seperti ketika sebelum cita-cita come true. Semangat hemat runtuh sudah.

Saya yakin, setelah dari Mekah kehidupan akan jadi normal. Utamanya finansial. Bagaimana tidak, golongan PNS akan naik, gajipun akan naik, sudah tak ada lagi tanggungan kredit rumah tentu pula tak ada lagi penyisihan uang untuk berhaji. Nah setelah itulah godaan akan datang. Hatipun mengetuk seraya menggumam. sekarang saatnya  senang-senang boy.  Masak dari dulu susah terus?

Yang saya takutkan saya menuruti gumaman itu. Hidup sederhana lebih dekat dengan prihatin, dan prihatin itu tidak enak. Sedang logika selalu condong ke hal yang menyenangkan. Untungnya bisikan hati saya masih lumayan tajam. Lalu pelan mengingatkan bahwa hidup sederhana bukan semata-mata untuk menjadi kaya di suatu hari. Saya coba mengingat ngingat kembali, dan saya sampai pada kesimpulan, untuk memulai tujuan yang baik sesuatu harus dimuali dengan baik. Berhaji adalah perintah agama. Kesederhanaan adalah perintah agama juga. permulaan yg baik

Lagian, saya sering mendengar. Berhaji adalah candu. Akan ada efek tarik-menarik antara kakbah dengan jamaah yg pernah mengunjunginya. Sekali berhaji, sudah itu ingin sekali lagi, sekali lagi dan lagi. Itu artinya saya harus melanjutkan hidup sederhana, menyisihkan sebagian pendapatan. Sekali lagi, lagi dan lagi.

Kalau boleh sombong sombongan, saya mau haji minimal dua kali dalam hidup saya. Apakah terlalu sombong? Saya rasa tidak. karena itu hanya dream. Dan tak ada istilah terlalu sombong dalam menentukan mimpi. Salam...

bumi maha patih, 081112


0 komentar :

Post a Comment

Please Comment Bellow, As:
@ Appreciation-Support
@ Criticism-Answers
@ Blog Walking- No Spam

Thank....